Perampok Kejam dan Tidak Sopan
Mencuri dan merampok saat itu adalah hal yang biasa. Hanya
sebagian kecil saja orang yang tidak pernah melakukannya. Perampok pun bukan
cuma mengincar harta dan benda, tetapi juga orang yang dirampok. Perampok biasa
menjadikan orang orang yang telah dirampoknya menjadi tawanan dan budak belian.
Saat itu perilaku bangsa Arab amat kejam, sampai melewati
batas perikemanusiaan. Anak-anak perempuannya sendiri mereka bunuh. Ada yang
dikubur hidup hidup ke dalam tanah, ada pula yang ditaruh dalam tong dan
diluncurkan dari tempat yang tinggi. Mereka malu jika mempunyai anak perempuan.
Mereka juga suka menyiksa binatang. Jika seseorang mati,
keluarganya mengikat unta diatas kuburan dan tidak memberikan makan serta minum
sampai si unta mati. Mereka beranggapan unta itu kelak akan menjadi tunggangan
si mati.
Musuh yang tertangkap diperlakukan sangat kejam. Mereka biasa
mengikat musuh pada seekor kuda dan membiarkan kuda tersebut berlari sehingga
orang yang diikat itu mati terseret-seret. Telinga atau hidung musuh yang kalah
dijadikan kalung, serta tengkorak nya dijadikan tempat minum arak.
Orang jahiliyah juga tidak mengenal sopan santun, Mereka
biasa berkeliling Ka'bah tanpa memakai pakaian.
Begitulah kebiasaan Orang Orang Arab saat itu.
Mereka adalah bangsa yang maju perdagangannya, pandai
membuat perkakas, membuat obat, ahli astronomi, serta mahir bersyair. Namun mereka
juga mempunyai kebiasaan buruk.
Memakan Bangkai Binatang
Dalam urusan makan dan minum pun tidak ada yang dilarang.
Segala macam binatang boleh dimakan. Binatang yang sudah mati pun disayat
dagingnya, dibakar, dan dimakan. Mereka juga suka meminum darah, binatang, dan
makanan darah yang dibekukan.
Muthalib
Suatu hari, Hasyim pergi berdagang menuju Syam. Ketika
melewati Yatsrib, (di kemudian hari disebut Madinah), Hasyim melihat seorang
wanita baik-baik dan terpandang.
"Siapakah wanita itu?" tanya Hasyim kepada
orang-orang Yatsrib.
"Dia adalah Salma binti Amr."
"Suaminya telah tiada. Kini dia seorang janda."
Mendengar itu, Hasyim melamar Salma dan Salma pun
menerimanya. Mereka lalu menikah. Hasyim tinggal di Yatsrib beberapa lama.
Ketika Salma mengandung, Hasyim melanjutkan perniagaannya. Namun, itulah kali
terakhir Salma melihat suaminya karena Hasyim tidak pernah kembali lagi. Ia
meninggal dunia di Palestina.
Salma melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi
nama Syaibah. Sementara itu, sepeninggal Hasyim, kedudukannya sebagai pemuka
masyarakat Mekah dipegang oleh adik Hasyim yang bernama Al Muthalib.
Al Muthalib juga seorang laki-laki terpandang yang dicintai
penduduk Mekkah. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan sebutan Al Fayyadh
yang berarti Sang Dermawan.
Suatu hari, dia mendengar bahwa Syaibah, keponakannya yang
tinggal di Yatsrib, sedang tumbuh remaja.
"Aku harus menemuinya," pikir Al Muthalib,
"dia adalah anak kakakku. Dulu ayahnya adalah pemuka
Mekah, maka dia harus pulang untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya menggantikan
aku."
Ketika Al Muthalib bertemu Syaibah di Yatsrib, dia
tersentak,
"Anak ini benar-benar mirip Hasyim."
"Mari Nak, ikut Paman ke Mekah," peluk Al
Muthalib.
"Tetapi, jika ibu tidak mengizinkan pergi, aku akan
tetap tinggal di sini," jawab Syaibah
Syaibah
Nama Syaibah diberikan karena ada rambut putih (uban) di
kepalanya sejak dia kecil. Selain Syaibah, Hasyim telah memiliki empat putra
dan lima putri yang tinggal di Mekkah.
ABDUL MUTHALIB
"Tidak. Aku tidak akan membiarkannya pergi" jawab
Salma.
"Dia buah hatiku satu-satunya. Wajahnya lah yang
senantiasa mengingatkan aku akan wajah ayahnya".
"Aku juga menyayangi Hasyim", jawab Al Muthalib,
"bukan cuma aku, tetapi penduduk kota Mekah juga
menyayanginya. mereka pasti akan senang sekali menyambut kedatangan putra
Hasyim. Begitu melihat wajah anak ini, rasa sayangku timbul kepadanya.
Seolah-olah aku melihat Hasyim hidup kembali dan berdiri di hadapanku.
Izinkan aku membawanya pergi. Sesungguhnya Mekah adalah
kerajaan ayahnya dan Mekah adalah tanah suci yang di cintai oleh seluruh bangsa
Arab. Tidakkah pantas putramu pergi ke sana dan melanjutkan pemerintahan
ayahnya?".
Salma memandang Syaibah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya
ingin agar putra satu-satunya itu tetap tinggal di sisinya. Namun, ia tahu masa
depan Syaibah bukan di Yatsrib, melainkan di Mekkah. Akhirnya, ia pun
mengangguk, "Baiklah, kuizinkan ia pergi."
Dengan amat gembira, Al Muthalib mengajak keponakannya itu
pulang. Syaibah duduk membonceng unta di belakang pamannya.
Ketika mereka tiba di Mekkah, orang-orang menyangka bahwa anak yang duduk
di belakang Al Muthalib adalah budaknya.
"Abdul Muthalib (Budak Al Muthalib)! Abdul
Muthalib!" panggil mereka kepada Syaibah.
"Celaka kalian! Dia bukan budakku, dia anak saudaraku,
Hasyim!"
Namun, orang-orang telanjur menyebutnya demikian sehingga
akhirnya nama Syaibah pun terlupakan. Setelah itu, dia dikenal dengan nama
Abdul Muthalib. Dia kelak menjadi kakek Nabi Muhammad ﷺ.
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar